All right reserved by 𝐙𝐀𝐕𝐄𝐈𝐒𝐒
.
DAFTAR ISI
PERINGATAN : Perlu Dipahami
BAGIAN 1 ㅤㅤ : Penggalan Kilas Balik
ㅤㅤㅤㅤ⠀➥ㅤ Menilik Lalu, Merangkai Baru.
ㅤㅤㅤㅤ⠀➥ㅤ Sebilah Pedang, Sebuah Omong?
BAGIAN 2ㅤㅤ: Goresan Sang Dewantara
Click the title to read.
Peringatan
Beberapa kisah tertulis dalam laman situs web ini akan mengandung perkataan yang kurang layak; seperti umpatan, perspektif negatif mengenai suatu hal, dan kata ganti pendukung penulisan. Pembaca diharapkan berlaku bijak.
Apabila memiliki koreksi tertentu atau kritik-saran, silakan mengunjungi tautan tersemat yang telah disiapkan penulis.
Click the bold-italic words to tell the writer.
Menilik Lalu, Merangkai Baru
( Ditulis melalui sudut pandang orang ketiga )
Sang Almalik telah berkehendak, diembus sukma ‘tuk hadir mengisi sarira tak bertuan. Tertanggal tiga puluh satu Desember, salah satu ciptaan-Nya berhasil terlahir dari sebuah pengharapan. Ia diberi asma terkait dewa pula kesatria, bagai tersemat restu menjadi sosok hebat pun mulia. Gemuruh penyelimut hujung tahun seolah paham, terurunglah niat menantang. Yang lantang kian meredam, laun terganti derau beralun tenang. Isak si mungil kini mencapai henti, terlelap dalam dekap hangat sang Batari.
Izinkan sejenak cerahnya permata safir bersembunyi, sebelum tampak ‘tuk mulai mencari arti baik di balik—ruang—sunyi. Biarkan diri sang putra sekejap terpejam, bersiap memperkukuh atma kala menghadap yang biadab.
Waktu kian berganti, bertahun telah terlewati. Netra sang wira telah terbuka dengan sempurna, menampak sebuah keluarga bahagia nan serba ada; suatu dunia pertama yang menjadi dambanya. Terlukis lengkung indah pada ketiga paras, membuat diri turut menyelaras. Dalam benak ia berdoa, jagalah mereka dari manusia penghina. Tiada sedetik pun hati mengharap bencana; serangkai cerita serupa yang masih celakai sanubari.
ㅤㅤ“Bun, Yah, Nala. Maaf, Bhima belum jadi putra dan kakak yang baik. Tapi, Bhima akan berusaha mulai mengemban tugas tersirat dalam nama ini.”
Pada tengah hari cerah, yang terpanggil tampak bergeming dengan segenap dwinetra mengerling. Tiada terbesit pemikiran alasan di balik tutur sang pembicara, sebab hanya ceria yang selalu dibawa. Rahasia pun berakhir tetap pada tempat, kian tertutup rapat-rapat. Sepenggal jenaka mengalihkan, didalangi sang Dewi kesayangan.
ㅤㅤ“Mas Dewantara Abhimanyu! Kuizinkan Engkau bertugas, dimulai dari mengawalku ke peperangan bernama sekolah!”
Gelak hadir menambah warna, membawa rasa percaya ‘tuk penuhi sumpahnya. Ialah Dewantara Abhimanyu Candrasa, dewa di antara manusia. Takut takkan ia kenal, sedangkan pedang ‘kan menjadi pengenal.
Sebilah Pedang, Sebuah Omong?
( Ditulis melalui sudut pandang orang ketiga )
Pernahkah mendengar sebagian insan berkata bahwa dunia ini tidak adil? Atau, bahkan pernah menjadi salah satu yang turut andil? Mana pun itu, sang wira takkan mengindakan. Sebab labiumnya ‘kan selalu menegaskan, “Bukan dunia yang salah, tetapi penduduknya.”
ㅤㅤ“Lantas, Dewantara, atas dasar apa kamu berpikir begitu?” Sebuah tanya terlontar, berasal dari seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan semasa si empunya asma berada di tingkat Sekolah Menengah Atas.
ㅤㅤ“Atas dasar kurang bijaknya beberapa manusia dalam mengadili, membuat mereka gagal menghargai apa yang perlu dihargai.”
Begitulah sang sulung Candrasa, tiada ragu dalam tutur pengungkapan rasa terkait manusia. Bukan sebab hendak menjunjung kebenaran, bukan pula bermaksud membebaskan kebencian. Akan tetapi, sepenggal diri tengah menjalani penebusan teramat berarti.
Tepat bila dikatakan bahwasanya menjadi warga suatu negara patut mengetahui sejarah kelam bangsa, termasuk bagi warga negara Indonesia; di mana tercatat sang negeri Matahari Terbit dahulu menginvasi tanah air tercinta. Walau demikian, “Enggak seharusnya mereka yang mengaku bumiputra masih berpikir kolot, menyamaratakan orang berdarah murni Jepang dan keturunannya itu antek penjajah atau penjahat. Bisa-bisanya menyalahkan orang yang enggak bersalah. Sialan, masih mulia anjing daripada mereka! Berotak, tapi enggak berakal sehat.”
Sabar telah mencapai puncak teratas, ia bukanlah utusan Tuhan dengan tabah tak terbatas. Diri mulai merasa muak, amarah terpendam kini kian menyeruak. Cemooh demi cemooh tiada henti mengusik, menghunus satu titik dalam tubuh yang bahkan tidak diizinkan ‘tuk sekadar disentuh; pertahanannya berakhir runtuh.
Andai pada masa itu kuasa berhak bergerak bebas, andai benak urung terbayang paras, andai serapah dapat dibalas, mungkin jemala banyak tertebas. Entah sang wira perlu mengucap terima kasih, atau malah harus menyuarakan pedih. Ya, pedih atas ranum dan raga yang dibungkam; diminta ‘tuk kembali diredam pula dipendam.
ㅤㅤ“Jadi ingat waktu Dewa mau nonjok si ... siapa namanya? Lupa.” Serangkai tutur memecah hening di antara tiga sekawan. Tiada bermaksud membuka luka, ia hanya ingin pemangku asma yang disebut dapat lebih leluasa berkata.
ㅤㅤSang pemeran utama lekas mengembus napas, bilabial terbuka sebelum mulai bersuara, “Karena kalian bilang enggak pantas diingat, jadi benar enggak kuingat. Kalau kupikir lagi, memang si bajingan itu perlu ditonjok. Dari kelas satu, lho, didiemin malah melunjak. Tapi, thanks a lot, you guys saved my school life.”
ㅤㅤ“Yah, Dew. Kalo enggak begitu, kamu yang diskors. Omong-omong, aku penasaran dengan alasanmu minta Kepala Sekolah bohong ke Bunda.”
ㅤㅤBunda, satu kata penyelamat yang berhasil menghadirkan tenang dalam pandang usai hati sempat kembali meradang. “Kalian bisa bilang ke ibu kalian kalau penyebab perkelahian itu adalah beliau dan ayah kalian yang dihina? Bilang kalau ada yang meneriaki, woi, anak penjajah dan pengkhianat? Kalau aku, jujur, enggak bisa. Cukup aku yang dengar, mereka dan adikku enggak perlu. Aku enggak mau mereka dapat luka yang sama, apa lagi sampai merasa bersalah karena menjadi orang tua yang nyebabin anaknya diolok.”
Berembus napas ‘tuk kesekian kali sebelum terlukis lengkungan pada bilah ranum, menandakan terpatrinya sebuah senyum. Tiada sesal terpancar dari binar netra, justru lolos sekilas tawa. Memori sejenak memutar peristiwa lalu, menampilkan diri yang memaki dalam pilu. Apabila dikembalikan ke momen itu, takkan ada perubahan; merutuk di hadapan sang Kepala Sekolah akan tetap dilakukan.
ㅤㅤ“Ternyata benar yang dibilang kebanyakan orang, kalau omongan lebih tajam dari pedang. Ya, bilah pedang menusuk, bilah ranum merasuk.” Tepat. Sebilah pedang mampu menusuk—melukai—sarira, tetapi bekas tiada berlangsung terlalu lama. Sementara kata yang dikeluarkan bilah ranum, sepenuhnya mampu menghapus senyum; memberi retak berbekas, merasuk tepat ke dalam relung.
GORESAN SANG DEWANTARA
( Ditulis melalui sudut pandang sang lakon )
ㅤ
❝ Izinkan aku sedikit bercerita, tentang perjalanan tanpa peta. Dua yang kutuju, keluar dari masa lalu dan melangkah ke hari baru. ❞
ㅤ
UNTUK KALIAN PILIH
PERINGATAN : Perlu Dipahami
BAGIAN 1 ㅤㅤ : Mari Beranjak, Cukup Tinggalkan Jejak
ㅤㅤㅤㅤ⠀➥ㅤ KARSA 1⠀ Tegak Cagak, Rusak Tombak.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ⠀ ➥ㅤ Tentang Si Bedebah.
ㅤㅤㅤㅤ⠀➥ㅤ KARSA 2⠀ Tempat Singgah, Teramat Indah.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ⠀ ➥ㅤ Ditulis Untuk Navisha.
BAGIAN 2ㅤㅤ: Terus Melangkah, Sampingkan Lelah
⎯⎯⎯⎯⎯⎯ㅤClick the title to read.